“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas” Bung Hatta
Demikian kutipan salah satu founding father bangsa Indonesia tentang sebegitu pentingnya buku bagi kehidupan manusia. Tulisan ini memang ditulis selepas Hari Buku Nasional beberapa waktu lalu. Buku berperan penting bagi kehidupan seorang manusia, karena ia bukan hanya kumpulan pemikiran dan tulisan. Namun juga sebagai karya monumental yang bercerita soal sejarah dan kebudayaan sebuah bangsa.
Dalam peringatan hari buku nasional, semangat membangun minat baca masyarakat adalah esensi dari peringatan tersebut. Faktanya saat ini dunia perbukuan di Indonesia dapat dikatakan berkembang cukup pesat. Setiap tahun ribuan atau ratusan eksemplar buku terbit dari mesin-mesin cetak penerbitan. Penulis-penulis muda terus tumbuh diiringi dengan jalur penerbitan yang semakin terjangkau dengan adanya penerbitan mayor maupun self publishing, yang kelahirannya juga tak lepas dari kepentingan bisnis dibidang penerbitan.
Tapi kita tetap memberi apresiasi terhadap hal tersebut, karena ruang-ruang untuk mempublikasikan karya berupa buku semakin luas. Ditengah kampanye digitalisasi di era modern saat ini, eksistensi buku dihadapkan pada tantangan perubahan zaman. Apakah mampu bertahan dan menyesuaikan dengan arus perubahan ? atau justru buku ditinggalkan karena dirasa membaca buku cetak adalah kegiatan yang sudah ‘kuno’.
Karena alat komunikasi yang semakin canggih jauh lebih dekat di genggaman dan waktu yang dihabiskan juga cukup lama untuk berselancar menggali informasi di ruang-ruang digital. Jika penulis, penerbit, dan juga toko buku tidak melihat kecenderungan perubahan tersebut. Keberadaan buku ditengah-tengah masyarakat tinggal menghitung hari, kecuali bagi orang-orang penikmat buku.
Mengutip pendapat Toto Tis Suparto yang dimuat di Jawa Pos (17/5/2021), halaman 4 di rubrik opini. Awal tahun 2021 ini, data pengguna internet di Indonesia mencapai 202, 6 juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia yang mencapai 274,9 juta jiwa. Dimana penetrasi masyarakat Indonesia di dunia maya mencapai 73,7 persen. Sayang-nya, hal tersebut tak diimbangi dengan tingginya minat baca masyarakat.
Serta data yang dirilis oleh UNESCO menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara perihal minat baca. Posisinya persis di bawah Thailand dan di atas Bostwana. Yang lebih mencengangkan makna dari data tersebut adalah dari 1.000 masyarakat Indonesia hanya satu yang rajin membaca. Tentu ini menjadi sebuah tantangan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dunia penerbitan buku.
Walaupun saat ini alih wahana sudah dilakukan oleh penerbit dengan cara menerbitkan e-book. Toh, dari data di atas menunjukkan minat baca masyarakat masih rendah. Justru dari minat baca yang rendah itulah muncul masalah baru bernama hoaks. Karena di tengah arus informasi yang begitu deras, masyarakat cenderung meng-klik lalu membagikannya tanpa melakukan konfirmasi kebenaran pada informasi yang diterima.
Maka jangan heran kemudian kabar di media massa baik di media cetak maupun elektonik. Akan banyak mengabarkan berita yang viral dan hoaks. Pada akhirnya akan seperti sebuah siklus yang terus kita nikmati karena sering disuguhkan yakni: kabar bohong-viral-minta maaf menjadi tontonan dan asupan informasi yang sering dibaca.
Kampanye tentang gerakan literasi memang sudah masif dilakukan. Hanya saja masih ada penalaran konsep literasi itu sendiri yang menurut penulis masih belum mencapai pada titik temunya. Literasi masih dirasa sebatas berdirinya taman baca dimana-mana dan jumlah buku yang dibaca. Belum mencapai pada bagaimana masyarakat mampu menjadikan membaca sebagai aktivitas spiritual layaknya beribadah. Sehingga bukan berapa jumlah buku yang dibaca namun sudah seberapa paham masyarakat akan informasi yang telah dibaca.
Ini menjadi tantangan bagi siapapun yang terlibat dalam gerakan-gerakan literasi untuk membantu mencerdaskan masyarakat melalui kesadaran membaca. Mengutip ucapan sastrawan asal Republik Ceko, Milan Kundera:
“Langkah pertama untuk memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapus memorinya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaannya, dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu. Bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan melupakannya lebih cepat,”
Bisa dibayangkan akan betapa ngerinya apabila ucapan Milan Kundera itu benar-benar terjadi. Dimana Indonesia akan menjadi bangsa tanpa identitas karena masyarakatnya yang tak mengenal budaya bangsanya sendiri. Inilah realitas tantangan peran buku ditengah perubahan modernisasi yang berjalan begitu cepat. Akan sangat menyenangkan jika perpustakaan diseluruh daerah dikemas seperti taman yang nyaman dan asyik untuk membaca. Tidak terkesan kaku dengan tumpukan-tumpukan buku yang berbaris rapi di rak.
Akses membaca semakin mudah melalui internet, e-book dapat dijangkau dengan harga yang terjangkau. Harga buku cetak juga terjangkau, pembajakan buku diberantas dengan hukum yang tegas, penulis-penulis diberikan kemudahan pajak dan royalti yang mencukupi bagi penghidupan mereka. Karena tidak dapat dipungkuri adanya buku yang berkualitas karena lahirnya karya dari penulis yang berkualitas. Sedang penulis hidup bergantung dari royalti yang mereka terima.
Sehingga buku dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Tidak hanya kaum terdidik atau intelektual yang tau dan mengerti akan adanya seremonial hari buku nasional. Namun semua masyarakat memiliki kesadaran bahwa membaca adalah sebuah budaya, sebuah perlawanan terhadap kebodohan dan kemiskinan. Seperti halnya Bung Hatta atau tokoh-tokoh nasional lainnya, yang menghargai keberadaan buku sebagai sumber pengetahuan untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Komentar
Posting Komentar