Langsung ke konten utama

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PSIKOLOGIS PADA SISTEM PEMBELAJARAN


IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PSIKOLOGIS PADA SISTEM PEMBELAJARAN

Bagus Rachmad Saputra
Darmaji

Program Pascasarjana, Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang No 8 Kota Malang. Email: bagusrachmad47@gmail.com, ajidarmaji64@gmail.com


Abstrak: Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui landasan-landasan psikologi dalam pendidikan, keberagaman dan gaya belajar peserta didik di kelas, karakteristik peserta didik yang masing-masing individu berbeda-beda, dan keunikan masing-masing peserta didik antara satu dan lain berbeda, implementasi nilai-nilai psikologis dalam pembelajaran,. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan studi pustaka yakni mengkaji teori-teori yang relevan dengan landasan psikologis dalam pendidikan dan pembelajaran serta bentuk-bentuk implementasinya di lembaga pendidikan. Harapan dari penulisan artikel ini dapat menjadi referensi pelaksanaan pembelajaran di lembaga pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan psikologis peserta didik.
Kata Kunci: Landasan psikologis, implementasi nilai-nilai psikologis, peserta didik,

PENDAHULUAN
Landasan psikologis pendidikan tertuju pada penekanan konsep tentang pemahaman manusia, tentang dua hal yakni proses perkembangan dan proses belajar. Beberapa pandangan tentang hakikat manusia ditinjau dari segi psikologis dalam kaitannya dengan pendidikan, yakni strategi disposisional, strategi behavioral, dan strategi humanistik. Landasan psikologis dalam landasan pendidikan secara konsep teori serta praktis adalah memahami perkembangan peserta didik secara psikologis mulai dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Landasan psikologis itu sendiri menjadi dasar pada proses pembelajaran, bagaimana proses pembelajaran itu mampu mengakomodasi potensi dan tumbuh kembang peserta didik yang berbeda-beda dan diakomodasi untuk meningkatkan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat  meraih hasil belajar yang memuaskan. Menurut Tirtarahardja dan La Sula (2000:104), pemahaman tentang peserta didik akan  berkaitan dengan aspek kejiwaan, dalam hal ini kesiapan dan kematangan emosional, aspek jiwa merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan melalui kegiatan pembelajaran yang ada di sekolah. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, terutama bagi guru memahami karakter dari masing-masing peserta didik seperti aspek-aspek pribadi, urutan, dan ciri-ciri pertumbuhan pada setiap aspek, dan konsep tentang cara-cara paling tepat untuk mengembangkannya.
 Artinya peserta didik memiliki karakter-karakter yang unik tiap individu dan harus diakomodasi dalam suatu proses pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah. Sementara tujuan dari pembelajaran itu adalah “memoles” potensi yang dimiliki oleh peserta didik melalui hasil belajar yang diraih dari proses pembelajaran itu sendiri.
Untuk itu perlu pemahaman dari pendidik tentang implementasi nilai-nilai psikologis dalam kegiatan pembelajaran.  Untuk itu pendidik perlu menguasai kompetensi pedagogis untuk membekali diri dalam menghadapi keberagaman karakter peserta didik yang ada didalam kelas Agar pendidik dapat menyesuaikan dengan tujuan dari pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan kebutuhan peserta didik, tingkat kecerdasan peserta didik, dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik yang berbeda-beda agar mereka dapat berkembang dan menjadi jalan mereka untuk menemukan bidang yang mereka minati dengan merancang berbagai metode pembelajaran untuk mengakomodir karakteristik peserta didik yang unik.

METODE
Penulisan artikel ini menggunakan metode studi kajian literatur,  penulis mencari referensi dari beberapa sumber rujukan yang dianggap relevan dengan  suatu kasus atau permasalahan yang ditemukan dan diteliti. Kecukupan  sumber referensi menjadi sangat  penting dalam mengkaji teori-teori yang relevan dengan mengecek antara teori dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
Menurut Bungin (2008:121) metode kajian literatur adalah salah satu metode pengumpulan data yang sering  digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data-data sejarah yang sesuai dengan masalah yang diteliti oleh peneliti. Sedangkan pendapat lain menurut Sugiono (2005: 238) bahwa studi  literatur merupakan studi yang menggali informasi atau data melalui catatan peristiwa yang sudah terekam pada suatu karya ilmiah yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Untuk mencari referensi yang tepat dengan permasalahan, penulis mencari berbagai literatur yang ada untuk mencari sumber referensi baru guna memecahkan permasalahan yang sedang diteliti. Tujuan dari studi literasi adalah  memperkuat permasalahan secara konsep untuk digunakan sebagai bahan kajian teori dalam melakukan studi literasi dan juga menjadi dasar dari desain penelitian tentang penerapan  nilai-nilai psikologis dalam kegiatan pembelajaran di kelas.

HASIL
Berdasarkan hasil dari studi literatur tentang  implemantasi nilai-nilai psikologi pada sistem pembelajaran bahwa nilai-nilai psikologis menjadi landasan bagi pendidik untuk merumuskan, merencanakan, menyusun program pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan  dengan pertumbuhan dan perkembangan psikologi masing-masing peserta didik yang mana setiap peserta didik memiliki perbedaan secara psikologis. Pendidik harus mampu mengakomodasi segala perbedaan kondisi psikologis masing-masing peserta didik pada proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri mereka.
Faktor psikologis yang mempengaruhi kesiapan belajar dan aspek-aspek individu peserta didik banyak dipengaruhi oleh kondisi yang ada pada peserta didik itu sendiri meliputi aspek kecerdasan, motivasi, minat,sikap, dan bakat mereka dalam menerima materi pembelajaran dan peserta didik memiliki potensi diri yang berbeda-beda sehingga belum tentu peserta didik menguasai semua materi pembelajaran karena faktor psikologis dalam diri peserta didik itu sendiri sehingga tugas pendidik adalah membina dan mengarahkan peserta didik dan mentransfer materi pembelajaran yang nantinya akan menambah wawasan peserta didik untuk mengembang potensi dirinya. Sementara implementasi nilai-nilai psikologis dalam pembelajaran adalah implementasi teori-teori psikologi belajar kedalam proses pembelajaran dan menjadi landasan bagi pendidik untuk merumuskan metode pembelajaran yang tepat untuk mengakomodasi kebutuhan dan kondisi psikologis peserta didik yang berbeda-beda antar individu.


PEMBAHASAN
Landasan Psikologi Pendidikan
Membahas tentang aspek psikologis sebagai landasan pelaksanaan pembelajaran, tentu kita kembali pada kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda sesuai dengan usia perkembangan mereka. Sementara pembelajaran berperan bagaimana kebutuhan individu yang berbeda-beda itu dapat diakomodasi bersama dalam proses pembelajaran. Itulah alasan mengapa nila-nilai psikologi perlu diimplementasikan dalam proses pembelajaran sesuai dengan teori-teori belajar dan pembelajaran.
Secara frasa akan dua hal yang dipelajari dari landasan psikologi pendidikan, yakni psikologi dan belajar. Menurut Djamarah dalam Wahab (2016:1) dikaji secara etimologis bahasa, kata psikologi sendiri  berasal dari bahasa Yunani, kata  psyche yang berarti jiwa dan kata logos yang berarti ilmu yang mempelajari  tentang perkembangan jiwa manusia. Sedangkan belajar sebagai bentuk proses pendidikan dapat didartikan sebagai bentuk aktifitas yang dilakukan perorangan secara sadar dan terencana untuk mendapatkan kesan dari suatu yang telah dipelajari dan diamati  sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan sekitar (Djamarah,2008).
Sementara terkait dengan karakteristik individu peserta didik yang berda-beda, Menurut Tirtarahardja dan La Sula (2000: 105)penyebab perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antarpeserta didik, latar belakang keluarga yang berbeda,usia yang berbeda, jadi bukan hanya berkaitan dengan perbedaan intelegensi dan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita, perbedaan motivasi dalam hal belajar. Oleh karena itu, pemahaman tentang perbedaan karakteristik peserta didik tersebut akan sangat penting bagi pendidikan bukan hanya tentang ciri-ciri perbedaannya, tetapi juga mengetahui dan mempelajari perkembangannya,  faktor-faktor penyebab perbedaan karakteristik peserta didik dan cara menanganinya menjadi perhatian khusus bagi para pendidik. Hal terpenting adalah perbedaan  karakteristik  masing-masing peserta didik harus disikapi oleh pendidik secara bijaksana dan proporsional. Artinya, pendidik  melayani peserta didik yang mempunyai atau memiliki karakteristik yang berbeda-beda, menemukan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri peserta didik untuk diberikan solusi semaksimal mungkin agar setiap  peserta didik mencapai tujuan belajar meski dengan perbedaan karakteristik  yang ada, misalnya menggunakan metode yang bervariasi dan memberikan waktu yang cukup serta perhatian yang lebih pada anak yang memiliki kapasitas yang minimal (Khadijah dalam Wahab, 2016:65).
Psikologi Perkembangan
Perilaku individu dapat diamati dan dipelajari dalam sudut keilmuan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan manusia baik secara fisik maupun secara psikologis. Psikologi perkembangan dikaji dari aspek tentang hakikat perkembangan, tahapan perkembangan manusia, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu dimana semuanya dapat menjadi dasar pengembangan dan pertimbangan penyusunan kurikulum.
Setiap individu dalam siklus perjalanan hidupnya mengalami perkembangan yaitu proses perubahan yang berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadinya pembuahan hingga manusia itu meninggal dunia. Mengapa demikian? Karena setiap individu memiliki peranan sentral dalam pendidikan, sebab pendidikan dipersiapkan membantu peserta didik menuju dewasa dan matang secara psikologis. Pengetahuan tentang karakteristik masing-masing peserta didik menjadi mutlak diperlukan karena dari mempelajari tumbuh kembang peserta didik lah, seorang pendidik akan mengetahui minat dan kebutuhannya sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dari sisi psikologi.
Menurut Ulwiyah (2015) prinsip-prinsip perkembangan seorang manusia terdapat lima prinsip yakni 1) perkembangan individu berlangsung terus menerus sejak pembuahan hingga meninggal dunia, 2) kecepatan perkembangan setiap individu berbeda-beda tetapi pada umumnya mempunyai perkembangan yang normal, 3) semua aspek perkembangan yang bersifat fisik,sosial, mental, dan emosional satu sama lainnya saling berhubungan atau saling mempengaruhi, 4) arah perkembangan individu dapat diramalkan, 5) perkembangan berlangsung secara bertahap, setiap tahap mempunyai karakteristik tertentu, tahapan perkembangan sesuai dengan tahapan usia.
Sementara teori pentahapan perkembangan manusia secara khusus yang digunakan untuk melihat tumbuh kembang peserta didik. Menurut Piaget (dalam Ulwiyah, 2015) ada empat tahapan karakteristik perkembangan manusia. Keempat tahapan perkembangan tersebut yaitu:
1.      Sensorimeter Period (0,0 -2,0 Tahun)
Periode ini menurut Piaget ditandai dengan penggunaan sensorimotorik yakni pengamatan dan penginderaan secara intensif. Pengamatan dan penginderaan yang dilakukan hasilnya adalah prestasi intelektual yakni perkembangan bahasa, hubungan tentang obyek, control skema, kerangka berfikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab akibat. Perilaku kognitif yang dapat diamati antara lain:
a.       Menyadari dirinya berbeda dari benda-benda lain sekitarnya
b.      Sensitive terhadap rangsangan suara dan bahaya
c.       Mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik
d.      Mendefinisikan obyek atau benda dengan manipulasinya
e.       Mulai memahami ketepatan makna suatu obyek
2.      Preoperational Period (2,0-7,0 Tahun)
Tahapan kedua ini terbagi dalam dua periode yakni Preconceptional (2,0-4,0 Tahun) dan Intuitive (4,0-7,0 Tahun), periode preconceptional ditandai dengan cara peserta didik berfikir yang bersifat menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal khusus misalnya sapi disebut kerbau. Periode intuitif ditandai dengan dominasi pengamatan anak atau peserta didik yang bersifat belum memhami cara orang lain memandang obyek yang sama seperti searah sedangkan perilaku kognitif yang tampak yang dapat diamati antara lain:
a.       Self-centered dalam memandang dunianya
b.      Dapat mengklasifikasikan obyek-obyek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya
c.       Dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu
d.      Dapat menyusun benda-benda tetapi belum dapat menarik inferensi dari dua benda yang tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama
3.      Concrete Operational Period (7,0-11/12 Tahun)
Tahapan selanjutnya periode concrete operational period, periode ini mulai mengembangkan kemampuan berpikir beraneka. Peserta didik sudah dapat membedakan mana benda atau kondisi yang tidak berubah dan mana yang sudah berubah. Kemampuan peserta didik dalam mengasimilasikan skemanya sudah lebih besar untuk menampung berbagai perbedaan yang ada dalam suatu koordinasi yang konsisten antar skema. Itulah mengapa dalam tingkat operasi konkret ini struktur kognitif peserta didik sudah relative stabil. Bahkan antar skema itu terjadi saling menunjang sehingga daya dukung untuk belajar menjadi makin besar.
Kemampuan mengelompokkan sudah berkembang pada masa ini walaupun masih terbatas pada hal-hal yang konkret. Artinya pada tingkat ini peserta didik telah mampu melakukan klasifikasi benda-benda, mampu menemukan persamaan dan perbedaan di antara sekelompok benda. Atas dasar persamaan dan perbedaan itu peserta didik mampu mengelompokkan benda-benda yang sejenis tadi, jadi kemampuan analisis tingkat awal sudah dapat dilakukan oleh peserta didik. Walaupun demikian kemampuan berfikir peserta didik lebih abstrak belum sepenuhnya berkembang pada masa operasi konkret. Kemampuan berfikir yang formal dan abstrak sepenuhnya baru dapat berkembang dengan baik dimulai pada usia 12 tahun.
4.      Formal Operational Period (11/12-14/15 Tahun)
Selanjut tahapan keempat yakni periode formal operational period dimana peserta didik pada periode ini ditandai dengan memiliki kemampuan mengoperasionalkan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat oleh obyek-obyek yang bersifat konkret. Perilaku kognitif yang tampak dan dapat diamati pada peserta didik antara lain:
a.       Kemampuan berfikir hipotesis-deduktif
b.      Kemampuan Mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada
c.       Kemampuan Mengembangkan suatu proporsi atas dasar proporsi-proporsi yang diketahui
d.      Kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai kategori obyek yang beragam
Tentunya teori perkembangan ini bermanfaat bagi pendidik dalam kegiatan pembelajaran di kelas untuk mengondisikan dan mengorganisasikan materi pembelajaran dan proses belajar terutama yang berkaitan dengan upaya Mengembangkan kognisi peserta didik yang sangat begitu fundamental dalam membimbing peserta didik untuk Mengembangkan bakat dan minatnya melalui aktifitas pembelajaran di kelas.
Sementara dalam aspek afeksi, Erikson (dalam Ulwiyah,2015) menyusun perkembangan dalam delapan tahapan sebagai berikut:
1.      Bersahabat versus menolak pada umur 0-1 tahun
2.      Otonomi versus malu dan ragu-ragu pada umur 1-3 tahun
3.      Inisiatif versus perasaan bersalah pada umur 3-5 tahun
4.      Perasaan produktif versus rendah diri pada umur 6-11 tahun
5.      Identitas diri versus kebingungan pada umur 12-18 tahun
6.      Intim versus mengisolasi diri pada umur 19-25 tahun
7.      Generasi versus kesenangan pribadi pada umur 25-45 tahun
8.      Integritas versus putus asa pada umur 45 tahun keatas
Perkembangn afeksi dari penjelasan tahapan diatas sangat begitu penting bagi pendidik. Pendidik dapat Mengembangkan afeksi peserta didik sesuai dengan tahapan-tahapan tersebut sehingga tujuan dari pendidikan melalui proses pembelajaran dapat tercapai secara maksimal dan dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan prestasi dirinya.
Psikologi Belajar
Psikologi belajar adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku peserta didik sebagai individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mempelajari tentang hakikat belajar dan teori-teori belajar dan berbagai aspek perilaku individu peserta didik dalam belajar dan mengikuti proses pembelajaran di kelas. Dimana semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum itu sendiri sebagai proses pembelajaran.
Proses belajar merupakan proses paling penting dalam setiap usaha pendidikan sehingga tanpa belajar sesungguhnya, peserta didik tidak pernah akan merasakan pendidikan. Sebagai suatu proses belajar yang utuh, hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan misal ilmu tentang psikologi pendidikan. Sedemikian penting arti belajar maka bagian terbesar diarahkan pada upaya riset dan eksperimen psikologi pendidikan pun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang sangat luas dan mendalam tentang perubahan peserta didik sebagai seorang individu.
Mengingat belajar adalah suatu perubahan perilaku yang relative permanen sebagai hasil pengalaman bukan hasil perkembangan, pengaruh obat, atau kecelakaan dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikan kepada orang lain. Gagne (dalam Ulwiyah,2015) mengemukakan beberapa prinsip-prinsip belajar yakni sebagai berikut:
1.      Kontiguitas, memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidika tentang respon anak yang diharapkan beberapa kali secara berturut-turut
2.      Pengulangan situasi dengan respon anak diulang-ulang atau dipraktekkan agar belajar lebih sempurna dan lebih lama diingat
3.      Penguatan respon yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan respon itu
4.      Motivasi positif dan percaya diri dalam belajar
5.      Tersedia materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas peserta didik
6.      Ada uapaya membangkitkan keterampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi dalam mengajar
7.      Ada strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar
8.      Aspek-aspek jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran
Terjadinya proses belajar perlu dikondisikan baik secara internal maupun eksternal. Tiga poin pertama yang disebutkan oleh Gagne tadi adalah faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar sedangkan yang lainnya adalah sebagai faktor internal. Faktor-faktor eksternal lebih banyak ditangani oleh pendidik sementara itu faktor internal dikembangkan sendiri oleh peserta didik dibawah arahan dan strategi mengajar pendidik.
Psikologi Sosial
Psikologi sosial merupakan ilmu  psikologi yang mempelajari psikologi seseorang dimasyarakat untuk mempelajari keterkaitan individu dan antar individu dalam suatu komunitas lingkungan sosial  yang menekankan pada faktor-faktor situasi sosial yang terjadi yang mengundang tanggapan umum yang sama dari semua orang. Menurut  Ulwiyah (2015),bidang psikologi sosial ini mempunyai tiga ruang lingkup utama yaitu studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya: studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat),  studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain, studi tentang interaksi kelompok, misalnya: kepemimpinan, komunikasi, hubungan kekuasaan, kerjasama, dalam kelompok, persaingan, konflik. Itulah alasan mengapa dalam  ilmu sosial telah dijelaskan tentang  definisi interaksi sosial dimana individu tidak dapat  memisahkan diri dari orang lain yang ada disekitarnya dan pada akhirnya seorang individu dengan individu lain  dapat membentuk  sebuah interaksi. Maisng-masing individu memiliki hubungan timbal balik baik antar individu dan kelompoknya begitu pula sebaliknya. Individu memandang dirinya sendiri atau mempersepsi dirinya sendiri sama caranya dalam menemukan atau melihat persepsi orang lain. Persepsi diri sendiri itu ada berkenaan dengan sikap dan perasaan seorang individu sebagai seorang insan manusia. Dimana ranah sikap menurut Abu Ahmadi (2007)  merupakan suatu kesadaran individu secara kolektif yang dapat menentukan perbuatan-perbuatan yang nyata ataupun yang mungkin akan terjadi di dalam kegiatan-kegiatan sosial. Sikap dapat ditimbulkan dengan metode langsung dan metode tidak langsung di lingkungan sosial.
Sikap dan perasaan keduanya bertalian dan berhubungan erat dengan lingkungan dan mempengaruhi konsep diri seseorang. Selain itu,  persepsi motivasi juga merupakan salah satu aspek psikologi sosial dalam pembelajaran motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan atau mendorong peserta didik dari dalam diri peserta didik itu sendiri  untuk belajar atau menguasai materi pelajaran yang diikutinya bersama peserta didik lain di dalam kelas. Melalui  motivasi belajar yang tinggi peserta didik dapat mencapai prestasi belajar yang tinggi pula dalam mengikuti proses pembelajaran, karena secara garis besar ada dua jenis motivasi dilihat dari sumber datangnya motivasi itu sendiri yakni  motivasi ekstrinsik dari luar individu  dan motivasi instrinsik dari dalam diri individu.  Motivasi instrinsik sangat diharapkan namun justru tidak selalu timbul dalam diri peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah sedangkan motivasi ekstrinsik jika diberikan secara terus menerus kepada individu akan menimbulkan motivasi dalam diri peserta didik itu sendiri.
Ada sejumlah metode untuk membangkitkan motivasi menurut beberapa ahli teori motivasi pada artikel yang ditulis Ulwiyah (2015) teori-teori motivasi diantaranya adalah teori Isi (Content Theory) yang mendasari teori Hirarki Kebutuhan Maslow, teori Kebutuhan McClelland (teori tiga kebutuhan), teori Proses (teori dua Faktor), teori Perilaku, dan teori X-Y McGregor. Teori-teori tersebut dapat dilaksanakan dalam pendidikan sebagai contoh teori kebutuhan McClelland yang menjelaskan tiga kebutuhan; kebutuhan berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa. Dengan cara memberi pemenuhan atas tiga kebutuhan ini maka peserta didik termotivasi untuk belajar lebih giat dengan pemberian motivasi yang tepat diharapkan juga dapat membendung sikap agresif peserta didik untuk mengembangkan potensi diri yang telah dimiliki oleh peserta didik itu sendiri.
 Sementara ada tiga kategori prilaku agresif  bagi peserta didik yaitu: 1) Agresif anti sosial, misalnya perilaku yang suka menampar orang, memakskan kehendak, dan lain-lain, 2) Agresif prososial, misalnya perilaku menghakimi sendiri, 3) Agresif sanksi, misalnya wanita menampar karena badannya diraba laki-laki, tuan rumah menembak pencuri karena masuk rumahnya. Sedangkan faktor-faktor utama penyebab dari timbulnya perilaku agresif peserta didik adalah watak berkelahi dimana insting berkelahi merealisasi diri dalam wujud agresif yang sangat tidak bagus bagi moral peserta didik dan dalam tahapan perkembangan emosional peserta didik itu sendiri sementara adannya gangguan dari pihak luar dan terakhir karena putus asa tidak mampu mencapai suatu tujuan untuk membendung perilaku agresif peserta didik. Selain hal-hal di atas yang tadi telah dijelaskan, masih banyak lagi aspek-aspek  psikologi yang tidak dibahas dalam dalam penulisan artikel ini, namun pada intinya pendidikan harus berlandaskan juga pada aspek psikologi sosial terutama yang berhubungan dengan tumbuh kembang karakteristik individu yang berbeda-beda  dan kelompoknya untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu pengembangan manusia seutuhnya mencakup unsur jasmani dan rohani. 
Implikasi Psikologi Terhadap Konsep Pendidikan
Berdasarkan tinjauan psikologi perkembangan manusia, dapat dikatakan psikologi belajar dan psikologi sosial di atas memberikan implikasi kepada suatu konsep pendidikan. Implikasi itu sebagian besar berada dalam ruang lingkup bidang kurikulum. Pidarta (2007) mengemukakan implikasi psikologi terhadap konsep pendidikan adalah sebagai berikut:
1.      Psikologi perkembangan yang bersifat umum, yang berorientasi pada kognisi, afeksi, dan psikomotor memberi petunjuk pada seorang pendidik agar menyiapkan dan mengorganisasikan materi pembelajaran dan bagaimana seorang pendidik dapat membina peserta didik secara optimal
2.      Psikologi belajar akan berimplikasi pada proses pembelajaran di kelas. Teori belajar klasik masih sering digunakan walaupun umumnya sudah lama. Teori belajar disiplin mental bermanfaat untuk menghafal dan melatih soal-soal. Teori behaviorisme lebih cocok untuk membentuk perilaku nyata, seperti mau menyumbang, giat bekerja dan lain sebagainya, sedangkan teori kognitifisme untuk mempelajari pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman untuk memecahkan masalah dan berkreasi menciptakan bentuk ide baru.
3.      Psikologi sosial
 a. Konsep tentang diri sendiri atau persepsi diri bersumber pada  persepsi tentang lingkungan dan banyak dipengaruhi oleh sikap serta perasaan seprang individu sehingga pendidik diharapkan dapat mengembangkan sikap serta perasaan yang positif karena konsep diri yang keliru dapat merusak perkembangan peserta didik.
b. Pembentukan sikap terbentuk secara alami, dikondisikan dan meniru sikap orang dewasa. Seorang pendidik hendaknya perlu membentuk sikap anak yang positif dalam banyak hal dengan cara merencanakan dan melaksanakannya dalam waktu dan situasi yang tepat. Selain itu peserta didik perlu dikembangkan motivasinya dengan cara memenuhi minat dan kebutuhannya, memberikan tugas-tugas yang menantang dan menanamkan harapan-harapan yang sukses agar peserta didik dapat berkembang.
 c. Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial peserta didik, tetapi mengembangkan agresif prososial dan sanksi dengan cara menerapkan ketertiban dan kedisiplinan dan berupaya agar anak tidak mengalami rasa putus asa pada diri peserta didik.  Hubungannnya dengan kelompok kemampuan memimpin anak perlu dikembangkan karena kepemimpinan sangat besar peranannya dalam mencapai sukses belajar bersama bagi peserta didik , sukses berorganisasi yang dapat dijadikan bekal kelak jika peserta didik sudah memasuki usia dewasa.
d. Wujud perkembangan seutuhnya dapat dikatakan jika meliputi tiga kriteria sebagai berikut: 1) Semua potensi berkembang secara proporsional atau berkembang harmonis dan berimbang, 2) Potensi-potensi itu berkembang optimal. 3) Potensi-potensi itu berkembang secara integratif.
Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi Dan Kesiapan Belajar Masing-Masing Peserta Didik
Kelas dalam proses pembelajaran merupakan kumpulan dari beberapa individu-individu peserta didik yang harus dipandang  memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pertanyaannya bisakah pendidik mewadahi perbedaan-perbedaan tersebut menjadi proses pembelajaran utuh dengan mengakomodasi perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut. Tentunya pendidik harus berperan menjadi fasilitator bagi peserta didik guna membantu mereka untuk siap secara kondisi psikologis untuk mengikuti proses pembelajaran.
 Menurut Wahab (2016: 26) kesiapan belajar seorang peserta didik ditinjau dari faktor psikologis meliputi kondisi emosional peserta didik, kematangan emosional, kemampuan adaptasi dengan cepat pada lingkungan baru sebagai salah satu faktor  penentu kesiapan belajar peserta didik disamping faktor-faktor yang lain. Lebih lanjut Wahab menjelaskan bahwa intelegensi dan proses yang baik, karena itu faktor intelegensi masih dianggap oleh kebanyakan orang menjadi penentu keberhasilan dalam belajar. Ada anggapan bahwa semakin tinggi tingkat inteligensi seorang individu, semakin besar pula  peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Begitu pula sebaliknya, jika semakin rendah tingkat intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Untuk memaksimalkan setiap potensi yang ada pada diri peserta didik maka para pendidik harus mampu memahami perbedaan karakteristik yang dimiliki masing-masing peserta didik sebagai tolok ukur keberhasilan belajar. Pendapat senada juga disampaikan Thobroni dan Mustofa (2013: 32) yang menjelaskan bahwa faktor kecerdasan mempengaruhi kesiapan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran. Contohnya pada usia yang sama belum tentu peserta didik memiliki tingkat kematangan emosional yang sama dan kecerdasan yang sama dalam belajar. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang atau individu maka secara emosional akan lebih siap untuk mengikuti pembelajaran.
Selanjutnya adalah motivasi sebagai faktor lain yang mempengaruhi kesiapan belajar,karena motivasi mendorong setiap  peserta didik untuk memiliki keinginan yang kuat mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas. Lebih lanjut seseorang tidak akan mau berusaha mempelajari sesuatu dengan sebaik-baiknya jika ia tidak mengetahui pentingnya dan faedahnya dari hasil yang akan dicapai dari belajar itulah sebabnya motivasi penting bagi peserta didik ( Thobroni dan Mustofa, 2013: 33).
Selanjutnya  faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar peserta didik adalah minat, secara sederhana minat (interest) berarti keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber dalam Syah (2003), minat bukanlah istilah yang populer dalam psikologi disebabkan minat bukanlah hal pokok dalam psikologi karena banyak faktor yang akan mempengaruhi minat seseprang atau peserta didik, ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi minat peserta didik seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Setelah faktor minat, menurut Wahab (2016: 28) faktor psikologis yang juga berpengaruh pada kesiapan belajar peserta didik adalah sikap atau attitude. Sikap peserta didik dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan yang sedang dirasakan dan dihadapi oleh peserta didik, misalnya senang atau tidak senang pada performa guru dalam mengajar, pelajaran, dan lingkungan sekitarnya.
Untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya mempersiapkan diri dengan berbagai macam kompetensi agar  menjadi guru yang profesional dan bertanggungjawab terhadap profesi yang dipilihnya. Sikap profesionalitas seorang guru akan berusaha memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didik, selalu berusaha mengembangkan kepribadian sebagai seorang guru yang bisa menjadi contoh,  empatik, sabar, tulus, dan ikhlas membimbing peserta didik,  guru yang menjunjung profesionalitas selalu berusaha untuk menyajikan pelajaran yang diampunya dengan baik dan menarik sehingga membuat peserta didik dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak merasa bosan, meyakinkan peserta didik bahwa ilmu pengetahuan yang dipelajari dan disampaikan  bermanfaat bagi diri peserta didik.
Berikutnya adalah bakat yang dimiliki oleh peserta didik dalam kesiapannya untuk mengikuti proses pembelajaran. Menurut Wahab (2016: 29) secara umum, bakat didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Sementara Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang peserta didik untuk belajar.
 Dengan demikian, bakat adalah kemampuan yang secara alamiah yang dimiliki oleh setiap peserta didik yang perlu dikembangkan dalam proses belajar seseorang. Faktor-faktor psikologis diatas yang mampu mempengaruhi hasil belajar peserta duduk. kesiapan peserta didik untuk belajar dapat dilihat pendidik, jika pendidik  memahami tentang kondisi psikologis peserta didik yang berbeda-beda antara individu satu dengan individu lainnya sehingga diperlukan metode-metode pembelajaran yang tepat, bisa jadi lebih dari satu metode pembelajaran yang diterapkan oleh pendidik untuk mengakomodasi segala perbedaan kondisi psikologis peserta didik.
Implementasi Nilai-Nilai Psikologis Dalam Pembelajaran
Jika kita berbicara tentang implementasi nilai-nilai psikologis dalam pembelajaran tentu kita akan mengacu pada teori-teori belajar yang ada. Hal ini berkaitan dengan kondisi psikologi peserta didik dan bagaimana nantinya guru mengimplementasikan proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.  Pentingnya mempelajari  teori belajar menjadi landasan bagi pendidik untuk mengimplementasikan nilai-nilai psikologis ke dalam proses pembelajaran.
Teori belajar yang sering dibahas adalah teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, dan teori belajar humanistik. Teori behavioristik, teori yang lahir dari pemikiran tokoh pendidikan macam Thorndike, Pavlov, Skiner, Gagne, dan Bandura ini. Menurut Soemanto (2006) menjelaskan teori belajar behavioristic, bahwa belajar itu adalah perubahan perilaku seseorang yang dapat diamati,diukur dan dinilai secara konkret. Teori ini memandang individu hanya dari sisi fisiknya saja , dan mengabaikan aspek-aspek mental sehingga dengan kata lain behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan sebagai penentu keberhasilan dalam belajar melainkan juga harus memperhartikan bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu proses belajar.
Sementara Wahab (2016: 37) menjelaskan bahwa hal yang terpenting dari teori belajar behavioristik adalah masukan dan luaran yang berupa stimulus sedangkan keluaran atau output yang diharapkan berupa respon. Sementara  apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak terlalu penting untuk diperhatikan karena tidak bisa diamati secara langsung. Teori ini menilai tentang pengukuran, sebab pengukuran menjadi dasar yang penting untuk melihat terjadi atau tidaknya sebuah perubahan tingkah laku tersebut. Misalnya, peserta didik belum dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) jika dia belum bisa atau tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti: kerja bakti, ronda, dan kegiatan sosial lainnya.
Menurut Skinner dalam Wahab (2016: 45) unsur penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam belajar adalah penguatan, pengetahuan terbentuk melalui ikatan stimulus respons akan semakin kuat bila diberi penguatan. Sementara menurut Skinner, hal yang dapat dilakukan seorang pendidik dalam mengimplementasikan teori belajar behavioristik adalah melakukan penguatan kepada peserta didik melalui prinsip-prinsip berikut ini: hasil belajar harus segera dikomunikasikan dengan peserta didik (jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguatan dan pengayaan), proses belajar harus mengukur kemampuan dari masing-masing peserta didik dalam belajar, materi pelajaran menggunakan sistem modul, tidak ada hukuman dalam proses pembelajaran, dalam proses pembelajaran di kelas lebih banyak menekankan pada aktivitas peserta didik, ada penghargaan bagi peserta didik yang sudah mencapai kompetensi yang diharapkan, dan dalam pembelajaran mengembangkan perilaku yang muncul pada diri peserta didik maupun perilaku yang belum muncul pada peserta didik selanjutnya diberikan penguatan.
Selanjutnya teori belajar menurut psikologi kognitif, menurut teori ini, belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi yang masuk ke dalam otak manusia (Soemanto,2006). Sementara Wahab (2016: 48) teori yang diperkenalkan oleh tokoh pendidikan macam Lewin, Piaget, dan Bruner ini menjelaskan proses pemvbelajaran pada diri manusia diawali pada proses mengamati (penginderaan) atas informasi yang diperoleh oleh setiap peserta didik dalam lingkungannya, penyimpanan (baik untuk jangka waktu panjang dan pendek), penyimpanan/pengkodean/ penyalinan terhadap informasi-informasi yang tersimpan, dan setelah membentuk pengertian, kemudian dikeluarkan kembali oleh pendidik.
Bagi seorang pendidik nilai-nilai kognitif dapat diimplementasikan pada prinsip-prinsip berikut ini pada saat pembelajaran, yakni gambaran yang dipersepsikan sesuai dengan masalah yang dipertunjukan kepada peserta didik berupa kondisi belajar yang penting, organisasi pengetahuan harus merupakan sesuatu mendasar bagi guru atau perencana pendidikan, belajar dengan pemahaman hasilnya akan  lebih permanen dan memiliki jangka waktu yang lama. Lebih mudah untuk digali kembali  dibandingkan belajar dengan formula, penetapan tujuan penting sebagai motivasi belajar, berfikir divergen menuju ditemukannya pemecahan masalah atau terciptanya produk yang bernilai dan menyenangkan karena berdasarkan hasil memahami dan memecahkan masalah.
Kemudian teori belajar humanistik, teori ini berkeyakinan bahwa anak termasuk makhluk yang unik, memiliki keragaman yang berbeda antara satu dengan lain (Soemanto, 2006). Sementara Wahab (2016:55) menambahkan bahwa keberagaman yang ada pada diri peserta didik  hendaknya dikukuhkan,  dengan demikian seorang pendidik atau guru bukanlah bertugas untuk membentuk anak menjadi manusia yang sesuai ia kehendaki melainkan sebagai motivatir dan fasilitator bagi setiap peserta didik untuk dapat mewujudkan visi yang telah ada pada anak itu sendiri, yang harus dilakukan oleh seorang pendidik pertama kali yaitu membantu peserta didik  untuk memahami diri mereka sendiri, dan tidak memaksakan pemahamannya sendiri mengenai kepada peserta didik.
Fungsi utama pendidik ialah membantu setiap peserta didik  untuk dapat mengembangkan dirinya, artinya pendidik harus menyiapkan dan menyusun materi pembelajaran yang sesuai dengan perasaan dan perhatian peserta didik. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip belajar humanistik yang diuraikan oleh Wahab (2016: 58) diantaranya: manusia itu memiliki kemampuan untuk mengembangkann dirinya atau belajar secara alami, belajar akan efektif apabila subject matter dirasakan peserta didik mempunyai  keterkaitan  relevansi dengan maksud-maksud yang dia temukan sendiri, belajar yang menyangkut suatu perubahan, tugas-tugas belajar yang mengancam diri akan lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil, apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah maka pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar, belajar akan lebih  bermakna oleh peserta didik apabila peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran, belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan aktif dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu sendiri,  belajar dengan inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya baik perasaan maupun intelektual peserta didik itu sendiri, belajar dengan penuh rasa percaya diri, dan belajar yang paling bermakna dan berkesan  secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar itu sendiri. Implementasi nilai-nilai psikologis dalam pembelajaran merupakan hasil dari pemahaman pendidik tentang aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan psikologi peserta didik yang sesuai dengan teori-teori psikologi tentang belajar yang kemudian diaplikasikan atau diimplementasikan pada proses pembelajaran dengan tujuan proses pembelajaran dapat diterima dan dipahami oleh peserta didik.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, implementasi nilai-nilai psikologis dalam sitem pembelajaran merupakan penjabaran dari psikologi sebagai landasan pendidikan yang diimplementasikan pada proses pembelajaran. Dimana aspek psikologi berkaitan dengan kebutuhan peserta didik secara aspek psikologis yang masing individu berbeda-beda terkait dengan kematangan mereka dalam mengikuti proses pembelajaran. Sedangkan bagi pendidik atau guru, implementasi nilai-nilai psikologi pada sistem pembelajaran merupakan sarana untuk mengakomodasi kondisi psikologi peserta didik yang berbeda-beda dalam rangka kesiapan mereka mengikuti proses pembelajaran sehingga pendidik harus mampu menyiapkan metode-metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi psikologi peserta didik yang beragam untuk mengembangkan potensi mereka melalui teori-teori psikologi belajar yang ada.
SARAN
Berdasarkan simpuan di atas, beberapa saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. (1) Kepala Sekolah disarankan untuk mampu melakukan pembinaan yang baik terhadap pendidik terutama tentang metode-metode pembelajaran yang sesuai dengan aspek-aspek psikologi peserta didik yang beragam, (2) Pendidik disarankan dapat merencanakan, merumuskan, menyusun, dan melaksanakan metode-metode pembelajaran yang dengan merujuk pada teori-teori psikologi belajar yang dikemukan oleh beberapa ahli untuk mengakomodasi kondisi psikologis peserta didik yang beragam, (3) Praktisi Pendidikan melalui penulisan artikel ini dapat menjadi sumber referensi baru dalam upaya mengembangkan  teori maupun praktik tetntang nilai-nilai psikologi dalam sistem pembelajaran, (4) Mahasiswa Administrasi/Manajemen Pendidikan dapat menggunakan artikel ini sebagai tambahan referensi baru dan sebagai rujukan dalam upaya mengembangkan konsep dan praktik landasan psikologi dalam pendidikan dan pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Bungin,Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu
              Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Djamarah, Syaiful Bahri.2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rinneka Cipta

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan: Stimulus lmu Pendidikan Bercorak Indonesia.  
             Jakarta: Rineka Cipta. 

Soemanto,Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rinneka Cipta

Sugiono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Syah,Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Thobroni dan Mustofa. 2013. Belajar Dan Pembelajaran: Pengembangan Wacana Dan Praktik
                 Pembelajaran Dalam Pembangunan Nasional. Jogjakarta: Ar Ruzz Media

Tirtahardja,Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rinneka Cipta

Ulwiyah, Nur. 2015. Landasan Psikologi Dan Aktualisasinya Dalam Pendidikan Islam. Jurnal
                    Studi Islam. Vol 6 (1) ISSN 1978-306. Jombang

Wahab, Rohmalina. 2016. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Pendidikan

MANAJEMEN PENDIDIKAN Bagus Rachmad Saputra Abstract This research aims to study the management of education in a comprehensive manner from the theory and practice include an understanding of the substance of the management of education ranging from : ( 1) Management Curriculum , ( 2) Management of Students , ( 3) Management of Teachers and Education , ( 4) Management Facility Education and Infrastructure , ( 5) Management of school and Community Relations , ( 6) Financial Management , ( 7) Office Management Education , and ( 8) Management Special Services as a source of reference in the management of schools to be more effective and efficient . Both this paper aims to provide scientific insights about the management of education or educational administration and educational management role in the management of the school as a micro unit in the national education system to support policy -based management school Keywords :

Cerita Tentang Taman Kota

                                                                      Ilustrasi/Pexels.com Di taman kota ini kita menghirup udara segar setiap pagi Tempat biasa kita meluangkan waktu berolahraga  Dari sekian wacana tentang gaya hidup sehat yang kita perbincangkan setiap hari Baru beberapa putaran, Engkau meminta untuk sejenak berhenti  Sejenak kita bertirahat di pinggir jalan taman  Dengan tubuh yang basah dengan peluh keringat  Sambil memandangi mereka yang masih berlari  dan burung merpati yang terbang kesana kemari  Rupanya hari ini, satu dari sekian wacana kita terpenuhi  Untung saja kota ini memiliki taman kota  Diantara laju pembangunan gedung-gedung tinggi yang pesat  Masih ada ruang bagi kita untuk sekedar berlari menikmati udara pagi  2018
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MANAJEMEN KONFLIK Bagus Rachmad Saputra Mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang Jalan Semarang 5 Kota Malang Email: bagusrachmad47@gmail.com Abstrak: Peran Kepala Sekolah sebagai pemimpin di sekolah sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan sekolah akan dihadapkan pada kondisi dan masalah dimana Kepala Sekolah harus mengambil keputusan yang terbaik dalam rangka pengelolaan sekolah agar efektif dan efisien. Persaingan antar individu sebagai komponen yang ada di sekolah tidak dapat dihindari karena setiap individu memiliki motivasi untuk bekerja semaksimal mungkin dan menjadi yang terbaik dalam aktifitas pengelolaan sekolah. Persaingan yang terjadi dapat menimbulkan konflik yang harus disikapi secara bijak oleh Kepala Sekolah sebagai seorang pemimpin di sekolah. Konflik juga dapat disebabkan oleh apa yang diharapkan oleh semua elemen yang ada di sekolah tidak sesuai dengan kenyataan