Hidup hanya menunda
kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu, ada yang tetap
tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah
Chairil
Anwar dalam puisi berjudul “Aku”
Apa yang kita kenal dari puisi,
barisan kata-kata yang dirangkai secara indah dalam rima dan irama ini kembali
digandrungi oleh anak muda era milenial sekarang. Dimana mereka membuat puisi
di story media sosial mereka baik
mengutip puisi dari sastrawan atau merangkai kata-kata mereka sendiri. Semenjak
film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Dian
Sastrowardoyo, terdapat cuplikan tokoh Rangga membaca puisi berjudul Tidak Ada
New York hari ini ciptaan Aan Mansyur. Puisi kembali diterima dengan baik oleh
anak muda generasi kelahiran 90 an.
Semenjak itu puisi
semakin ramai diperbincangkan dikalangan anak muda. Karya-karya sastrawan macam
Sapardi Djoko Damono dengan Hujan Di Bulan Juni nya sering kita baca dan sering
kita dengar musikalisasi puisinya lewat Ari Reda yang membawakan puisi-puisi
Sapardi. Juga karya sastrawan lain macam Rendra dan Chairil yang tergolong
pujangga lama namun kita masih bisa membaca karya mereka dan musikalisasi
puisi-puisi mereka yang di cover menjadi lagu di kanal Youtube yang digarap
oleh sebagian anak muda.
Kemudian Seno Gumira
Ajidarma, Joko Pinurbo, Agus Noor, dan sederet sastrawan lain mampu merubah wajah
puisi yang dianggap sebagai karya sastra kuno, kini sangat digandrungi oleh
anak muda. Hingga munculnya sastrawan-satrawan muda macam Adhimas Immanuel.
Puisi juga menjadi senjata paling ampuh dalam menaklukkan hati kekasih yang
menjadi pujaan hati. Kata-kata indah mampu membuat pembacanya jatuh dalam
buaian cinta yang begitu memabukkan bagi mereka yang dilanda kasmaran.
Bukan soal cinta saja,
jika kita berbicara tentang puisi tetapi juga kritik-kritik sosial kehidupan
masyarakat. Bagaimana istilah kata-kata adalah senjata perlawanan menjadi benar
adanya jika kita membaca sajak-sajak Wiji Tukul yang di era orde baru membuat
telinga penguasa saat itu terasa gatal. Hingga sosok Wiji Tukul dianggap sosok
yang membahayakan negara dan dihilangkan secara paksa. Kini di kalangan aktifis
kampus banyak yang menggandrungi sajak-sajak kritis seperti itu. Kata adalah
soal rasa dan rasa ada dalam hati setiap manusia, itulah mengapa puisi dapat
menembus batas usia untuk bisa kembali digandrugi oleh generasi milenial
sekarang ini, karena puisi adalah wajah dari sebuah rasa.
Komentar
Posting Komentar