Hoaks lagi dan lagi, baru-baru ini muncul berita hoaks jelang Pilpres 2019 tentang tujuh kontainer yang berisi surat suara yang sudah dicoblos di nomor salah satu pasangan capres dan cawapres. Seolah hoaks sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini. Anehnya berita hoaks dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan pribadi. Kita tengok saja penagkapan Saracen pada 2018 lalu yang memproduksi berita hoaks sebagai sebuah komoditas yang membawa dampak ekonomi bagi si pembuat dan penyebar berita hoaks.
Kalau ditarik ke belakang, berita hoaks ini mulai menjamur sejak kontestasi politik 2014. Dimana saat itu bahkan hingga saat ini dampaknya masih terasa yakni lahirnya kelompok identitas di masyarakat yang acapkali dikelompokkan menjadi dua kelompok, kelompok cebong dan kelompok kampret. Hoaks mampu menemukan pangsa pasarnya karena budaya masyarakat yang cenderung lebih suka melihat dan mendengar ketimbang membaca dan mencari tahu suatu sumber kebenaran informasi yang diterima.
Berita hoaks juga semakin masif dengan perkembangan media sosial yang begitu masif. Kita tengok saja di media sosial kita masing-masing. Begitu mudahnya kita memperoleh dan membaca informasi yang sangat diragukan kebenarannya dan cenderung menggiring masyarakat untuk mendukung dan bersimpati kepada kelompok-kelompok tertentu yang justru menyudutkan kelompok lain. Apa yang dijual hoaks selain fitnah, teror, dan fanatisme yang cenderung pada permusuhan dan perseteruan diantara kelompok masyarakat.
Bahkan yang paling menyedihkan adalah hoaks atas nama agama, yang endingnya pasti masalah politik atas nama umat dan menggiring masyarakat untuk saling membenci pada kotak-kotak kelompok tertentu yang dibangun oleh orang yang memiliki kepentingan lewat hoaks.
Siapa yang paling diuntungan? Tentu orang yang punya kepentingan sehingga hoaks dianggap sebagai alat untuk mencapai kepentingan tersebut.
Semakin miris ketika pasca bencana Tsunami di Banten dan Lampung Selatan beberapa waktu lalu, evakuasi korban bencana tsunami tersebut sempat terhenti akan adanya hoaks soal tsunami susulan yang membuat beberapa masyarakat panik tak terkecuali petugas yang sedang melakukan evakuasi guna melaksanakan misi kemanusiaan tersebut. Tentu hoaks tersebut sangat tidak bermoral dan berperikemanusiaan dimana duka dari musibah yang terjadi justru dimanfaatkan untuk membuat informasi yang tidak benar dan menimbulkan keresahan.
Disini lah pemahaman masyarakat akan kesadaran literasi semakin penting, karena masyarakat kita cenderung sering menyebar informasi yang belum tentu benar. Semakin miris ketika mereka mendapatkan kabar hoaks dari aktifitas asal comot dari media sosial yang kemudian disebar pada orang lain yang berada di sekitar mereka. Tentu saja dengan cepat berita hoaks tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk itulah perlu peran aktif dari sekolah, kampus, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan media massa elektronik maupun cetak yang kredibel untuk bersinergi memerangi berita hoaks.
Hoaks akan mati apabila masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak mudah percaya pada informasi yang diterima dan mencari kebenaran informasi tersebut dari media yang kredibel dan dipercaya. Sehingga lama-lama masyarakat akan bosan dengan hoaks, dan perlu tindakan tegas pada para produsen berita hoaks agar dihukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, disini dibutuhkan komitmen dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menimbulkan efek jera bagi pembuat dan penyebar berita hoaks. Karena lama-lama masyarakat juga akan lelah dan bosan dengan hoaks..hoaks..hoaks… dan akhirnya hoam.
Komentar
Posting Komentar