Penyair Pemilih Jalan Sunyi

Ilustrasi/ Google

Apa ada angin di Jakarta

Seperti dilepas desa melati

Apa cintaku bisa lagi cari

Akar bukit wonosari

Yang diam di dasar jiwaku

Terlontar jauh ke sudut kota

Kenangkanlah jua yang celaka

Orang usiran kota raya

Pulanglah ke desa

Membangun esok hari

Kembali ke huma berhati

Demikian puisi apa ada angin di Jakarta yang ditulis oleh salah satu sastrawan dan penyair yang namanya awam didengar khalayak umum. Umbu Landu Paranggi adalah nama penulis dari sajak tersebut. Awal perkenalan dengan Umbu, waktu ngopi sore-sore bersama Mas Rian dan Bambang. Dari Mas Rian lah saya banyak mendengar kisah tentang Umbu.

Rasa penasaran menuntun saya untuk mencari informasi apapun tentang Umbu. Kanal youtube menjadi pilihan, banyak referensi tentang Umbu. Dari tentang kisahnya sebagai penyair pemilih jalan sunyi sampai kisah nya dengan  budayawan, Emha Ainun Najib  atau yang akrab kita sapa sebagai Cak Nun. Mereka berdua memiliki hubungan ikatan batin yang kuat baik sebagai kawan maupun sebagai guru.  Semasa di Persada Studi Klub (PSK) dan mengisi malam-malam di Malioboro, Jogja dengan syair-syair menyentuh hati pembacanya. Selepas dari PSK tidak banyak literatur yang menginformasikan sepak terjang pria asal Sumba tersebut.

Selepas dari Jogja, ia memutuskan untuk tinggal di Bali. Di Bali ia tetap menulis syair yang memang sebagai jalan hidup seorang Umbu Landu Paranggi.  Lulusan Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta  telah menuangkan tinta-tinta emas dalam dunia kepenyairan Indonesia. Nama Umbu memang tak seperti penyair lainnya yang jamak kita dengar, seperti Rendra, Chairil, Sapardi, dan penyair di era sekarang. Justru itu alasan mengapa saya tertarik untuk mencari informasi tentang Umbu. Lalu menemukan karya umbu berjudul apa ada angina di Jakarta.

Setelah membaca karya tersebut, terdapat pesan moral yang terkandung dalam puisi tersebut. Tentang ibukota yang selalu sesak dengan urbanisasi masyarakat ke Jakarta yang justru menimbulkan masalah baru karena di ibukota semua tidak sama dengan apa yang mereka pikirkan. Dari situ ada satu kesimpulan dari sosok Umbu, tentang bagaimana konsistensi bersikap dalam berkarya. Tentang orang-orang yang memilih jalan sunyi yang sulit untuk dilakukan oleh orang lain pada umumnya. 

Bukan sekedar hidup dalam sunyi namun juga produktif dalam menghasilkan suatu karya.

Selain tentang sajak-sajaknya, juga tentang nilai-nilai persahabatan. Bagaimana seorang Umbu menjadi mentor seorang Cak Nun dalam kesusastraan namun Umbu tak pernah merasa diatas sahabatnya tersebut. Bahkan ketika Cak Nun mengisi sebuah acara, Umbu datang ke acara tersebut dengan jalan kaki. Ia menyaksikan sahabatnya tersebut dari balik semak-semak dan enggan untuk diistimewakan sebagai sahabat seorang Cak Nun.  Penyair seperti Umbu juga mau berbagi ilmu dengan penyair-penyair yang lebih muda darinya. Berkarya dalam sunyi, dan menggema dalam hati setiap penikmatnya.