Ilustrasi/Metro Tempo.co
Mengamati peristiwa yang hangat diberbincangkan selama sepekan terakhir. Mengawali tulisan minggu ini dengan sebuah kalimat tanya yang mirip dengan judul film garapan Riri Riza dan Mira Lesmana, “Ada Apa Dengan Cinta”menjadi “Ada Apa Dengan Mural”.
Ya, selama sepekan mural menjadi topik yang hangat diperbincangkan dikanal-kanal berita atau media sosial. Memantik banyak pihak bersuara soal moral, mulai dari masyarakat hingga pejabat, termasuk politisi muda yang ramai mendapat sorotan dan juga kritikan,
Mural yang mengkritik kebijakan pemerintah, sejatinya adalah luapan rasa frustrasi masyarakat yang sudah tak terbendung lagi di tengah kekacauan pandemi. Bisa dikatakan juga sebagai bentuk pesimisme masyarakat terhadap kebijakan penanganan pandemi yang dilakukan oleh pemerintah dirasa begitu memberatkan dan tidak memihak mereka.
Mural dipilih menjadi medium untuk mengutarakan aspirasi mereka. Hal yang sangat logis di tengah masa pembatasan yang tidak memungkinkan untuk menggelar aksi demontrasi secara langsung turun ke jalan.
Mural pun berhasil memantik perhatian, usai viral di media sosial. Mural yang digambar sudah diblok dengan cat agar tak semakin merdu mengkritik menggelitik. Dianggap merusak estetika ruang publik atau kritik yang kurang sopan, mungkin hanya pihak-pihak yang merasa dikritik saja yang tau.
Penelitian yang dilakukan oleh akademisi Universitas Gajah Mada, Fitri dan Nugroho (2015) dalam artikel ilmiah yang berjudul Mural Sebagai Medium Kritik Sosial Seniman. Menyimpulkan kedekatan mural dengan publik dimanfaatkan sebagai medium kritik dengan harapan isu yang diangkat dapat sampai kepada masyarakat yang melihat mural tersebut.
Artinya memiliki peran sebagai media aspirasi sekaligus sebagai gerakan sosial masyarakat terhadap isu-isu disekitar mereka. Sebagai suatu karya seni mural sejatinya berbeda dengan vandalisme, karena tidak menganggu ataupun merusak fungsi dari ruang-ruang fasilitas publik. Justru terkadang mural sengaja diberi space dalam gerakan-gerakan sosial untuk menyadarkan masyarakat di berbagai sudut kota.
Ada apa dengan mural?, mengapa bisa sebegitu ramai kita membicarakan mural. Bagi penulis, biarkan saja mural bekerja sebagai mana ia menjadi medium untuk menyampaikan aspirasi dan juga kritik. Para seniman-seniman jalanan tentu sudah berpikir matang dalam membuat mahakarya seni bernama mural. Tidak asal corat-coret.
Membicarakan mural juga menunggu kepastian, apakah benar kompetisi sepak bola Indonesia yang sudah vakum lebih dari 500 hari atau hampir 1,5 tahun absen menikmati pertandingan bola nasional. Apakah jadi bergulir ?. Tentu masih berharap-harap cemas Liga 1, bisa bergulir sesuai rencana pada 27 Agustus nanti. Semoga saja jadi dan tidak diundur-undur lagi atau dibatalkan.
Menunggu.
Komentar
Posting Komentar