Ilustrasi/Pexels.com
Menulis kata patah hati
sebenarnya berat, terpaksa kembali mengingat memori yang menyakitkan selain
disunat. Patah hatui sebenarnya hal biasa. Kita yang melebih-lebihkan,
bagaimana tidak bisa lebih dalam mencintai pasangan. Tak ada parameter yang
jelas seperti apa dosis dicintai dan mencintai itu.
Terbuai membaca kata-kata Kahlil Gibran, terbuai oleh rayu
puisi Hujan Di Bulan Juni milik Sapardi. Akhirnya kita tenggelam dalam puisi
Sia-Sia karya Chairil. Suatu pagi ditengah situasi pandemi, dimana raga tak
boleh pergi namun pikiran tak dapat berdiam diri. Youtube menjadi alternatif
tontonan bagi anak kos miskin kuota dan wifi.
Tentang patah hati ternyata tak serta merta harus lekas
mencari pengganti. Justru kita menambah luka untuk orang lain, menyalurkan
emosi yang belum tuntas tentang dia ke dia. Sungguh tak mengenakan, mengisi
hari-hari dengan tangis dan kesedihan. Sementara kita lupa melakukan koreksi
pada diri sendiri. Kecenderungan patah hati adalah menyalahkan satu pihak. Kita
merasa paling tersakiti tanpa sadar kita sebenarnya telah menyakiti. Itulah
mengapa kita lebih menerima pernyataan daripada pertanyaan.
Saya mengalami bagaimana patah hati membuat saya dicap pria
galau, melankolis, kebanyakan drama, alay, dan lain-lain. Yang paling sering
ya, lanang kok galau. Bukan kah patah hati itu hak semua manusia tanpa
memandang gender. Pengalaman mencintai dan kemudian harus menyudahi dengan
patah hati. Setidaknya membuat saya belajar dua hal.
Tak perlu mempedulikan omongan orang lain saat kita dalam
keadaan terpuruk. Karena itu justru
menambah beban, tapi saya tetap respect dengan kawan-kawan yang mau mendengar
keluh kesah saat patah hati dan banyak memberi nasehat. Kalau yang mencaci
banyak. Hehehe
So, kita yang jalani ya nikmati aja masa patah hati,
sendiri, dan mencari pengganti kala sudah berdamai dengan diri sendiri. Kedua,
momen patah hati adalah momen terbaik sebenarnya. Kita akan mencari apa yang
salah dari diri kita sehingga kita ditinggalkan dan merasa tersakiti.
Itu akan jadi momen titik balik buat kita. Ada yang
menyikapinya dengan perubahan perilaku dan ada pula yang mengembangkan potensi
dirinya pasca mengalami patah hati. Salah satunya dengan menulis, aktivitas
menulis menjadi sarana yang tepat bagi saya untuk menyalurkan emosi yang saya
rasakan. Ya, walau pada akhirnya dicap galau. Tapi setidaknya dengan menulis
selain perasaan lega juga bisa menjadi jalan buat merintis karir. Setidaknya
karya kita dibaca walau lewat medsos.
Patah hati adalah titik balik untuk menjadi lebih baik. Saya
teringat dengan quote balas dendam
terbaik adalah dengan menjadi lebih baik, dalam konteks positif saya
setuju. Boleh merasakan sakit karena harapan-harapan yang sirna. Namun tak
layak jika dilampiaskan dengan menyakiti. Baik menyakiti secara fisik maupun
psikis dengan ucapan.
Sebenarnya kita patah hati itu karena kita terlalu
menetapkan standar-standar tentang dalam menjalin sebuah hubungan. Kita lupa
bahwa menjalin hubungan adalah menerima dan memberi. Bukan terlalu menuntut.
Apa yang ditemui, tentu saja kecewa dan berujung pada amarah
hingga akhirnya pisah menjadi jalan pemecah masalah. Setelah pisah tentu kita
merasa saling tersakiti sampai kita lupa pernah memberi salam saat pagi.
Bagaimanapun patah hati harus dikelola dengan bijak.
Boleh saja merasa gagal, tapi harus ingat masih ada
kesempatan lain yang mungkin bisa kita raih. Evaluasi, lalu koreksi dan segera
bergerak lagi. Ingat waktu tak akan pernah menunggu. Jika tenggelam dengan masa
lalu maka tak pernah kita rasakan harapan baru. Hidup bukan sekedar menunggu
atau ditunggu tapi bagaimana bisa terus melangkah maju. Menikmati patah hati
sewajarnya.
Komentar
Posting Komentar