1.Diatas Meja
Mereka sibuk dengan makanan di depan mereka. Aku juga seperti mereka sibuk menyantap mana makanan yang harus masuk dulu ke perut ku.
Soto, Rawon, dan Rendang makanan nikmat yang mengundang penyakit jika aku terlalu kalap menyantap nya.
Aku tak peduli, lagian ini juga pesta perkawinan. Tidak setiap hari pula aku menyantap makanan seperti itu.
Hanya pecel yang intesitasnya terlalu sering masuk ke perutku dan sisa-sisa sayur menghiasi dinding-dinding gigiku.
Meski tubuhku kurus bukan berarti selera makan ku rendah, jika sedang kalap akan aku santap semua.
Namun, rasa sungkan mengganjal untuk berbuat binal di meja makan. Mereka sedang bercengkrama dengan hangat.
Diatas meja mereka membicarakan tentang karir, anak, atau bahkan kisah lalu mereka saat menikah.
Sambil sesekali menyantap makanan yang mereka ambil. Seolah sudah lama berjumpa saja, mereka yang baru berkenalan sudah nampak begitu akrab di meja makan.
Aku menjadi pendengar yang baik, aku coba perhatikan dan dengar apa saja yang mereka ceritakan.
Sampai ada seseorang yang duduk di sebelahku bertanya. “Sudah menikah mas?”, sial pertanyaan seperti ini yang aku benci.
“Belum pak, masih kuliah pascasarjana”, jawab ku berharap bapak itu mengerti alibi ku. Alibi untuk mengelak dari pertanyaan tentang pernikahan.
Ternyata aku semakin terpojok, bapak itu bertanya sambil tersenyum nyinyir. “Mas, sudah umur berapa?”, semakin sial saja batinku menjawabnya.
“24 tahun pak baru kemarin Juni”, sambil tersenyum kecut aku jawab dengan setengah hati.
“Sudah waktunya itu mas segera cari pasangan keburu tua enggak laku-laku mas”. Sial, senyum bapak itu seperti mengejek saja dan ada benarnya juga.
Aku hanya tersenyum tipis sambil menahan rasa malu, kusantap dengan lahap saja menu rawon yang kuambil. Lekas segera pergi dari percakapan diatas meja itu yang rasanya menggelikan.
2. Main Catur
Perlahan-lahan bidak atau pion catur dimainkan bapak, aku hanya termangu saja melihat manusia berusia setengah abad yang mengacak-acak pikiran taktis anak muda.
“Skak”, aku kaget saat bapak meneriakkan kata itu. Game selesai, dasar aku hanya tau permainan catur lewat gadget yang ada petunuk permainannya.
Sedang ini catur nyata.
Ah, aku kalah dari bapak. Umurku boleh lebih jauh muda tapi diatas papan catur aku seperti anak kecil yang baru mengerti permainan catur.
Bapak tersenyum dan tertawa puas merayakan kemenangannya. Sedang aku masih saja bingung bagaimana cara bermain catur.
Kekalahan yang tak bisa kuterima karena kesombonganku sebagai anak muda yang enggan kalah dari orang tua.
Tapi, lagi-lagi aku kalah, nampaknya dalam bermain catur, bapak lebih punya jm terbang ketimbang aku yang amatiran.
Lain kali aku yang menang coba saja catur itu seperti catur yang ada di gadget, bisa jadi aku jadi juara beruntun dari bapak.
3. Malas
Bangun pagi disapa oleh ayam jago yang berkokok, rasanya terlalu cepat hari berganti.
Dingin malam masih terasa saat menghabiskan secangkir kopi kemarin. Lalu kulihat handphone dan aplikasi whatsapp, banyak story-story yang kubaca.
Sebuah aktifitas yang tidak penting sebenarnya, tapi entah mengapa itu menjadi sebuah rutinitas.
Aku jadi tau bahwa teman-teman ku sudah sibuk bekerja dari story mereka. Memposting pekerjaan yang mereka kerjakan, lalu curhatan remeh-temeh mereka pada pekerjaan.
Aku Cuma mengelus dada, aku sendiri masih labil banyak pekerjaan yang kutinggalkan.
Gara-gara tak menemui rasa nyaman, sarjana yang belum siap memulai petualangan. Dia adalah aku, aktifitas yang hanya berisi tulis- menulis seperti saat ini, persis saat aku menulis cerita ini
4. Pribadi Yang Foto Kopi
Teori sosiologi yang kupelajari di SMA dulu ternyata memang benar adanya.Bahwa seseorang akan meniru gaya seseorang yang dia kagumi sebagai suatu perubahan sosial.
Sama seperti aku dulu, semula aku enggan untuk ngopi apalagi merokok,
Aktifitas yang tidak berfaedah sama sekali menurutku, dan hanya buang-buang waktu.
Jangan terlalu membenci sesuatu yang kamu benci, nanti jatuh hati. Nampaknya ini terjadi padaku. Dua aktifitas yang kubenci tadi sekarang menjadi bagian dari kehidupan ku sehari-hari.
Seringnya aku nimbrung degan teman-teman berlabel aktifis kampus, lama-lama membuat aku masuk dalam pola hidup mereka.
Aku mulai terbawa arus yang membuat ku memfotokopi aktifitas mereka. Seperti memfotokopi materi diskusi di kampus yang entah bermanfaat atau tidak ketika sudah lulus.
Nyatanya dari keraguan itu, aktifitas di kampus menjadi jalan bagiku mengenal dunia kerja yang penuh dengan tekanan. Masih saja aku memfotokopi aktifitas orang lain agar diriku sama seperti mereka (kelihatannya).
Aku yang cuek dengan penampilan saat kuliah dulu, terpaksa menjadi pribadi yang rapi mengikuti senior-senior ku di tempat kerja.
Bukan hanya penampilan, gaya bahasa saat berbicara bahkan pola pikir, aku mulai meniru-niru mereka.
Saat hisap sebatang rokok, bersama asapnya yang mengepul dari bibir ku.
Aku berfikir dan menggumam pelan dalam hati. “apakah ini diriku?”. Apakah mencari jati diri dalam diri sendiri memang sulit seperti ini.
Kapan aku menjadi benar-benar diriku sendiri, dan saat ini aku merasakan aku menjadi diriku sendiri.
5. Mengenal Sajak-Sajak
Tak ada darah sastrawan dalam diriku, bapak hanya seorang petani yang begitu paham soal tanaman.
Sedang ibuku jago menjadi manajer di dapur. Keluarga besar juga berada di lingkaran pendidikan sebagai guru.
Entah mengapa meski aku kuliah di jurusan pendidikan rasanya aku begitu menyukai dunia sastra.
Sejak intensitas membaca ku tinggi semenjak salah seorang dosen di kampus selalu bercerita sosok-sosok sastrawan Indonesia di akhir perkuliahan.
Muncul rasa penasaran yang harus aku luapkan, aku cari di mesin pencarian.
Nama-nama yang disebut oleh dosenku. Muncul nama Pramoedya, Sapardi, Rendra, Chairil Anwar. Semakin penasaran mengapa mereka begitu popular, apa karya mereka.
Aku cari karya mereka, aku mulai baca satu persatu karya mereka. Jalan Pos Deandels karangan Pram aku baca, dari buku yang kubeli di pasar buku di Malang.
Aku jadi tau sisi romantika kehidupan jaman kolonial saat pembangunan jalan pos itu yang tak pernah ada di buku pelajaran IPS atau Sejarah saat sekolah dulu.
Lalu Hujan Di Bulan Juni karya Sapardi, pas sesuai cita-citaku yang ingin menjadi dosen.
Cerita asmara seorang dosen muda yang bersahaja. Semakin membuatku optimis kelak aku akan seperti dia.
Sajak-sajak Sapardi mulai membuatku tertarik menulis sajak-sajak seperti dirinya.
Rendra dan Chairil, Binatang jalang dan Gagak kubaca karya-karya mereka untuk terus menyempurnakan tulisan sajak-sajak ku yang tak pernah sempurna.
Lalu membayangkan mereka membaca sajaknya membuatku benar-benar jatuh cinta pada kata-kata indah.
Seperti aku yang mencintaimu dinda….
6. Menyakitkan
Merayakan kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan. Tak ada lagi senyum dibibir, dia akan ikut hilang.
Lalu, berusaha membunuh kenangan dalam kepala yang terus dipaksa melupa. Mata yang sembab karena dipaksa mengeluarkan air mata.
Jiwa yang rapuh dan hari-hari terasa kelabu, tubuh menjadi ringkih. Melupakan nestapa perih yang berharap segera beralih.
Lalu,kembali pula bibir ini dapat tersenyum lagi. Apa yang lebih menyakitkan dari sisa keegoisan, selain menyakitkan merayakan kehilangan.
Hembusan nafas terasa sesak hingga tubuh enggan bergerak. Semudah itu kah manusia rapuh akan kehilangan.
Nyatanya tubuh kekar dan kekayaan materi bukan suatu jaminan.
Apakah seorang manusia akan mampu tegar bertahan dari merayakan suatu kehilangan. Sungguh, itu rasanya menyakitkan.
Komentar
Posting Komentar